Praktek Pendidikan di Indonesia (Sebuah Refleksi Pedagogis)

Pendidikan merupakan sebuah langkah penting untuk memajukan sebuah negara. Tak heran, jika melihat negara-negara maju, bisa didapati praktek pendidikan yang berkualitas di dalamnya atau paling tidak menjalankan praktek dan proses pendidikan dengan baik dan benar. Sebagai contoh, Jepang dengan kekalahannya dalam Perang Dunia II, melihat pendidikan sebagai cara untuk membangun kembali negara yang hancur. Yang ditanyakan oleh Kaisar waktu itu bukan berapa uang atau harta yang tersisa, tetapi berapa guru yang masih hidup dan bisa mendidik? Itu berarti pendidikan dianggap begitu penting dan juga harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Hasilnya sekarang Jepang merupakan negara yang diperhitungkan di dunia dengan berbagai kemajuan dalam berbagai bidang.

Indonesia sebagai negara berkembang mestinya juga memperkuat diri di bidang pendidikan. Artinya, proses dan praktek pendidikan harus dilakukan secara baik dan benar. Namun dalam kenyataannya jika diamati, masih banyak terdapat penyimpangan baik dalam proses maupun praktek. Misalnya saja di dalam proses pendidikan untuk mendapat gelar sarjana dibutuhkan waktu kurang lebih 4 tahun, tapi ada juga orang yang tidak melalui proses itu bisa memiliki gelar. Semua karena uang yang berbicara. Dengan menyerahkan nominal uang tertentu seseorang dapat memiliki gelar dan proses belajar pun diabaikan.

Dari segi praktek pun terjadi banyak penyelewengan, baik dari segi pendidik maupun peserta didiknya. Dari pendidik misalnya banyak ditemukan praktek penjualan soal ujian, atau mungkin penerimaan suap dari orangtua murid agar anaknya bisa naik kelas, padahal anak tersebut tidak layak. Peserta didik pun demikian, “budaya” monyentak masih dipelihara hingga sekarang.  Bahkan sampai di kalangan Perguruan Tinggi pun plagiarisme begitu marak. Mulai dari skripsi, tesis, bahkan sampai disertasi juga dilakukan plagiat. Sebagaimana kasus tahun kemarin, dimana seorang calon doktor mengambil skripsi orang lain sebagai hasil karyannya. Sungguh ironis, disertasi merupakan hasil plagiat skripsi.

Selain nyontek, “budaya menjilat” juga mulai marak. Biasanya peserta didik dalam proses belajar-mengajar hanya mengikuti apa yang dikatakan pengajar/pendidik, walaupun didapati ada yang salah. Jangan dikira ini hal yang baik, justru ini hal yang buruk. Murid tersebut mengikuti hal yang sekalipun salah dari pengajar dengan alasan supaya mendapat nilai yang baik. Bukankah praktek “menjilat” seperti ini sangat menyedihkan? Namun yang lebih mengherankan banyak pengajar yang  suka “dijilat” supaya dianggap berpengetahuan.

Di Inggris misalnya, seorang murid akan diberi nilai yang tinggi kalau murid tersebut dapat berdebat atau bahkan membantah pendapat dari gurunya. Di Indonesia justru terbalik. Murid yang berdebat atau membantah pendapat gurunya diberi nilai yang jelek. Bahkan hal tersebut saya bisa alami di perguruan tinggi, baik dari pengalaman dosen saya maupun pengalaman saya sendiri.

Proses dan praktek pendidikan di Indonesia harus dilakukan dengan benar, jika tidak lembaga-lembaga pendidikan hanya menciptakan orang-orang yang memiliki nilai di atas kertas, tapi tidak memiliki nilai kompetensi yang baik untuk berkarya menghasilkan sesuatu.  Bukankah kasus korupsi yang marak di Indonesia sekarang ini merupakan praktek jual-beli dan jilat-menjilat?

Entah apapun istilahnya, baik pendidikan karakter maupun revolusi mental yang harus dilakukan, proses dan praktek pendidikan harus dilaksanakan dengan baik dan benar. Hendaknya sejenak kita berefleksi tentang pendidikan di Indonesia, baik sebagai pendidik maupun peserta didik. Sebagai pendidik, kita hendaknya memberikan teladan yang baik kepada peserta didik dalam segala hal. Membekali diri dengan keilmuan secara khsusus dan juga menjunjung tinggi profesi sebagai pendidik. 

Sebagai peserta didik, belajar merupakan kewajiban sehingga tidak menjadi “penjilat” dengan bermulut manis atau banyak bicara kosong. Dengan demikian peserta didik hendaknya juga bersikap kritis di dalam setiap proses belajar-mengajar. Bagaimana mau mengkritik atau berdebat dengan pengajar, jika tidak tahu apa yang pengajar bicarakan, membeo saja yang pasti dipilihnya. Bagaimana mau tahu apa yang dibicarakan kalau tidak belajar. Bagaimana mau belajar kalau malasnya bukan main. Kalau sudah begini bagaimana mau dapat nilai yang bagus? Eh, tunggu dulu, nilai bagus itu bisa didapat kok, kan tinggal “manjilat”. :-D

SELAMAT BEREFLEKSI !

Keindahan dalam segala sesuatu ada dalam pikiran yang merenungkannya”
 ( David Hume )


Komentar

Postingan Populer