Berteriaklah lebih kencang terhadap korupsi !

Salah satu berita di tanah air yang masih hangat di dunia hukum adalah ditetapkan eksekusi matinya para pengedar narkoba beberapa waktu terakhir.  Mulai dari keenam terpidana mati yakni Rani Adriani, asal Cianjur, Jawa Barat dkk yang dieksekusi Januari 2015 lalu. Sekarang eksekusi mati dilakukan kembali pada 8 orang, baik WNI maupun WNA dengan berbagai kejahatan mulai dari pembunuhan, pemerkosaan dan yang paling banyak adalah masalah narkoba.

Dengan keputusan eksekusi mati terjadi banyak pro & kontra yang terjadi. Baik di kalangan elit politik, tokoh agama, dan juga masyrakat kecil. Negara Belanda dan Brazil menarik kedutaan besarnya di Indonesia karena putusan waktu itu, karena warga dari kedua negara itu menjadi korban.

Pemerintah Indonesia memang sudah melakukan hukuman mati pada tahun-tahun sebelumnya. Misalnya pada pelaku bom Bali, dan juga pembunahan berencana yang memakan banyak korban lainnya, seperti kasus dukun Ahmad Sarodji yang membunuh 42 orang di Sumatera Utara.

Masalah narkoba memang menjadi masalah yang serius di Indonesia.  BNN mendata bahwa pengguna narkoba di tahun 2014 sekitar 4,2 juta. Angka ini merupakan yang telah berhasil didata, sedangkan yang belum didata kita tidak mengetahuinya. Dengan melihat jumlah ini, tidak heran jika Indonesia merupakan sasaran empuk pasar narkoba bagi para mafia narkoba. Dari jumlah pengguna narkoba, menunjukan bervariasinya lapisan masyarakat yang menggunakan obat terlarang tersebut. Ada dari golongan selebriti, pengusaha, pelajar, dan bahkan juga lapisan masyrakat lainnya.

Dengan keadaan ini, tak heran jika pemerintah Indonesia mengambil langkah “tegas” untuk memangkas jumlah pengguna narkoba tiap tahunnya. Menurut BNN, ada 40 orang yang meninggal setiap harinya karena narkoba. Realitas yang memang sungguh ironis.

Kontroversi tentang hukuman mati masih terus didiskusikan. Ada yang melihatnya dari sisi hukum maupun politik berbangsa. Ada yang  melihatnya dari dari sisi etika, ada yang melihat dari sisi kemanusiaan, dan ada juga yang melihatnya dari sisi keagamaan. Dari berbagai sudut pandang ini tetap kita melihat pandangan yang berbeda.

Realitas Permasalahan Yang Lain

Di tengah pro & kontra, ternyata ada juga kasus lain,yaitu korupsi. Kasus korupsi selalu ada setiap tahunnya. Bagaikan menunggu “daftar tangkap” dari KPK, satu per satu para koruptur mulai tampak di permukaan. Jelas kasus korupsi ini juga bukan masalah yang kecil karena ini merupakan masalah bangsa. Karena merupakan persoalan bangsa, maka jelas bahwa rakyatlah yang juga terkena dampak.

Jika kita melihat dari berbagai kasus hukum mengenai terorisme dan narkoba, jelas bahwa itu mengakibatkan banyak korban. Terorisme misalnya, kejadian bom Bali memakan ratusan korban jiwa dalam sekejap. Baik WNI, maupun WNA.

Lain halnya dengan narkoba. Narkoba “mematikan” secara perlahan-lahan si pemakai. Namun untuk masalah narkoba, kematian si pengguna, merupakan akibat dari tindakannya juga, selain dari faktor pengedar. Terlepas bisa keluar dari jeratan narkoba (sakaw) atau tidak, yang pasti ada peran serta dari si pemakai. Kematian masal yang berbeda dengan kasus yang memang berbeda. Dengan tindakan yang dilakukan oleh pelaku masing-masing, mereka diangap pantas mendapat hukuman mati. Rakyat pun berteriak dengan keras untuk mendukung eksekusi terhadap pengedar narkoba.

Lantas, bagaimana dengan korupsi? Apakah ini tidak membunuh, entah itu secara sekejap atau perlahan-lahan? Saya lebih menyoroti masalah korupsi dibandingkan dengan terorisme atau narkoba. Menurut saya, korupsi adalah tindakan yang “membunuh” masyarakat Indonesia secara pelahan-lahan. Ironisnya lagi, korupsi sering dilakukan dalam beberapa tahun terakhir ini. Dan yang melakukannya juga, orang-orang yang berkuasa dan dianggap berpendidikan tinggi.

Coba lihat, apa dampak dari korupsi? Banyak masyarakat menderita, baik secara fisik, mental, dan karakter. Secara fisik, kita melihat angka kemiskinan begitu banyak di daerah-daerah di pedalaman Indonesia, bahkan di Ibukota Negara. Banyak pembangunan yang tidak merata, dan juga fasilitas pendidikan dan kesehatan yang kurang memadai. Secara mental, masyarakat “diajari” untuk mendapatkan sesuatu secara instan, atau dengan mencuri. Dari segi karakter, rakyat ditunjukan rasa tak tahu malu oleh para koruptor. Bayangkan saja, sudah ditetapkan menjadi tersangka masih juga diajukan Pra-peradilan. Betapa beraninya sang Koruptor mengatakan di depan publik bahwa dia bersih dari koruptor, namun setelah tertangkap hanya tersenyum malu.

Hukuman eksekusi mati memang menjadi polemik di negara Indonesia karena masing-masing orang melihat dengan cara dan sudut pandangannya sendiri (agama, politik, sosial, humanis, etika, dll).  Dan yang biasa menjadi pertimbangan terbesar untuk melakukan eksekusi mati dilihat dari aspek korbannya. Seberapa besar kejahatan itu berdampak bagi masyarakat.

Keputusan eksekusi mati bagi para bandar/pengedar narkoba memang telah dilakukan, dan mungkin masih akan dilakukan karena berdampak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun bagaimanakah dengan korupsi? Penanganannya masih belum menyentuh samapai ke akar rumput padahal korupsi juga berdampak sangat buruk bagi kehidupan berbangsa.

Dalam tulisan ini, saya tidak memihak pro atau kontranya dilakukan hukuman mati terhadap para bandar/pengedar, tapi saya lebih melihat korupsi sebagai kejahatan yang lebih besar dan membutuhkan keseriusan dalam penanganannya sebagaimana masalah narkoba diberantas.

Setiap orang punya sudut pandang dan cara pandang dalam melihatnya. Namun bagi yang  berteriak pro eksekusi mati pada bandar/pengedar, seharusnya berteriaklah lebih kencang pada masalah korupsi yang juga dapat membunuh generasi bangsa yang bukan secara fisik, tetapi juga mental dan karakter. Jangan sampai suara Anda mengecil bahkan hilang untuk masalah korupsi !



Komentar

Postingan Populer