‘Ku Heran, Allah Mu Mem’bri

 
Daniel Whittle berusia 21 tahun dan mempunyai hari depan yang cerah ketika mulai meniti kariernya sebagai akuntan di Chicago. Akan tetapi, Perang Saudara pecah di Amerika antara negara-negara bagian Union melawan Confederate (1861-1865). Whittle menjadi relawan dan pergi ke medan perang. Dalam suatu pertempuran ia cedera berat sehingga kehilangan lengan kanannya dan menjadi tawanan perang.

Dalam kesakitannya dan kesepiannya sebagai pasien berat di tawanan musuh, Whittle mencari pegangan untuk jalan hidupnya. Ia tidak habis mengerti mengapa ia harus menderita begini. Ia tidak habis mengerti mengapa hari depannya tiba-tiba menjadi suram. Di lain pihak ia tidak habis mengerti mengapa ia bisa luput dari maut, padahal banyak temannya tewas dengan tubuh yang hancur terkena ledakan. Hidup ini penuh dengan tanda tanya yang besar.

Dalam pergumulan hidupnya, Whittle membaca Alkitab saku yang dibekali oleh ibunya. Akan tetapi, makin mendalami Alkitab, makin ia tidak tahu apa jawab untuk tanda tanya itu. Namun, ia justru makin tahu siapa yang ia percayai sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.

Dalam rangka perukaran tawanan perang, Whittle dibebaskan dan setelah kesehatannya pulih ia kembali bergabung ke pasukannya, meskipun ia tidak berlengan kanan. Ketika perang usai ia pulang ke Chicago dan meneruskan kariernya di sebuah perusahaan besar. Sementara itu, apa yang pernah digumulinya sebagai tawanan perang tetap membayangi dia, apalagi ternyata perang itu menelan 620.000 nyawa dan mencederai lebih dari sejuta orang.

Setelah delapan tahun di perusahaan itu Whittle berganti karier dan mulai menjadi seorang pekabar Injil. Minatnya terhadap musik gereja sejak masa kecil kini hidup kembali. Untuk itu ia bekerja sama dengan temannya yang berbakat musik, yaitu Philip Bliss.

Baru saja kerja sama itu berlangsung tiga tahun Bliss tewas dalam kecelakaan kereta api. Whittle langsung pergi ke temapat kejadian. Gerbong-gerbong hangus terbakar. Tubuh Bliss dan istrinya tidak bisa dikenali lagi. Lagi-lagi Whittle bingung dengantanda tanya besar yang digumulinya. Mengapa Tuhan membiarkan ini terjadi? Padahal Bliss orang yang begitu baik dan berguna untuk pekerjaan Tuhan. Mengapa Bliss harus meninggal dalam usia yang begitu mudah?

Lalu di lokasi kecelakaan kereta api itu Whittle berkenalan dengan seorang yang juga meratapi kematian Bliss, yaitu James McGranahan. Ternyata kenalan barunya ini adalah guru seni suara dan pemimpin paduan suara yang giat di bidang pekabaran Injil.

Perkenalan Whittle dan McGranahan kemudian membuahkan banyak hal yang baik. Selam bertahun-tahun mereka bekerja sama dalam bidang musik gereja. Whittle mengarang banyak syair dengan nama samaran El Nathan (artinya: Allah membri) lalu McGranahan menyusun lagunya.

Salah satu buah kerja sama itu mengungkapkan pergumulan iman Whittle yang muncul sejak ia menjadi pasien amputasi di rumah tawanan musuh. Hidup adalah tanda tanya. Mengap ada derita? Mengapa ada cinta? Mengapa Allah mau mengampuni kita? Mengapa Allah mau berdamai dan menerima kita sebagaimana kita adanya? Kita tidak habis mengerti. Kita tidak bisa tahu. Yang bisa kita tahu adalah kepada siapa kita percaya dan memercayakan diri.

Whittle mendapat pegangan itu dari ayat yang berbunyi, “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu, karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan” (2 Tim. 1:12).

Ayat itu terletak di dalam perikop 1:3-14 yang merupakan penguatan umum kepada para pekabar Injil untuk tidak malu menderita. Lalu ayat itu mencantumkan dua alasannya. Pertama, karena kita tahu kepada siapa kita percaya, yaitu “Juruselamat kita Yesus Kristus” (ay.10). Kedua, karena kita menderita “untuk Injil” (ay.11) dan kita yakin bahwa Allah akan memelihara Injil yang telah dipercayaknnya kepada kita sampai akhir zaman.

Lalu Whittle mengutip kedua alasan itu dalam refrein kidung yang ia karang. Di KJ 387 bunyinya sebagai berikut:

‘Ku heran, Allah mau mem’bri
Rahmat-Nya padaku
Dan Kristus sudi menebus
Yang hina bagai ku !
           Ref.
           Namun ‘ku tahu yang ku percaya
           Dan aku yakin ‘kan kuasa-Nya,
           Ia menjaga yang kutaruhkan
           Hingga hari-Nya kelak !

Syair aslinya adalah:
I know not why God’s wondrous grace
To me He hath made known,
Nor why, unworthy, Christ in love
Redeemed me for His own.
           Refr.
           But i know whom i have believed,
and am persuaded that He is able
to keep that which I’ve commited
Unto Him againts that day.

Perhatikan bahwa di sini dibuat pertentangan yang tajam antara bait denga refrein. “I know not ...” ditentang atau dibantah oleh “ But I know ...”
Baitnya seolah-olah mengeluh, “Aku tidak bisa mengerti” atau “ Aku tidak kunjung tahu” atau “Aku betul-betul heran”, pokoknya “Aku tidak bisa tahu”. Lalu refreinnya segera menegaskan, “Tetapi yang aku tahu” atau “Tetapi inilah yang aku tahu”.

Dalam syair aslinya, kelima baitnya semua berawal dengan “I know not” sehingga pertentangan antara tiap bait dengan refrein menjadi lebih mencolok.

Memang begitulah pergumulan iman Whittle dengan merujuk ke perikop 2 Timotius 1:3-14 tadi. Ada begitu banyak tanda tanya dalam hidup ini. Ia betul-betul tidak tahu apa jawabannya. Akan tetapi,  ada satu hal yang betul-betul ia ketahui, yaitu ia tahu kepada siapa ia percaya dan memercayakan diri.

Tubuh yang cacat tanpa lengan kanan dan pengalaman buruk masa perang tidak dipandang oleh Daniel Whittle (1840-1901) sebagai bencana, melainkan sebagai berkat. Oleh sebab itu, ia tidak mau menjadi bencana bagi orang lain, melainkan menjadi berkat melalui buah karyanya yang terdapat di banyak buku nyanyian gereja.


( Dikutip dari buku Andar Ismail Selamat Berbuah )

Komentar

Postingan Populer