Di Kala Paduan Suara Bernyanyi

Christianity is a singing religion. Ungkapan ini ada benarnya. Betapa tidak, dalam setiap siklus kehidupan umat Kristen, baik itu suka maupun duka selalu diisi dengan nyanyian. Jika ada yang merayakan pesta sukacita, baik ulang tahun atau pernikahan, di situ ada nyanyian. Suasana dukacitapun demikian, keluarga yang berduka dihibur oleh kerabat yang datang dengan berbagai nyanyian. Itulah kekristenan, setiap orang dapat bernyanyi tak terbatas dengan tempat dan waktu. Suka dan duka diisi dengan nyanyian.

Jika kekristenan adalah agama yang bernyanyi, maka gereja bisa dikatakan sebagai wadah untuk bernyanyi. Di dalam gereja ada kelompok-kelompok penyanyi. Ada yang bernyanyi secara solo, duet, trio, kuartet, ataupun dalam kelompok yang lebih besar yakni vokal grup dan paduan suara. Di antara berbagai kelompok penyanyi di dalam gereja, yang banyak mendapat perhatian adalah kelompok paduan suara. Mengapa demikian? Karena paduan suara memiliki tugas dan fungsi yang agak berbeda dengan kelompok lainnya.

Ada baiknya, kita perlu melihat sejenak sejarah singkat Paduan Suara dalam menjalankan fungsinya dalam ibadah. Sejak semula, istilah khorus (dari sini muncul istilah koor atau choir) dalam gereja menunjukan pada dua kelompok umat yang duduk berhadap-hadapan dan menyanyi secara berbalasan (antifonal). Belakangan karena lagu-lagu yang dipakai semakin sulit dan kompleks, umat kesulitan menyanyikannya dengan khorus. Di sini mulai muncul kelompok penyanyi khusus yang terpisah dengan umat. Praktik ini terus berlanjut hingga abad pertengahan. Ketika itu penyanyi yang bertugas khorus diberi nama schola cantorum: kelompok penyanyi yang bertugas untuk menyanyikan lagu-lagu dalam ibadah.

Pada masa Reformasi, Luther mengembalikan nyanyian jemaat pada tempatnya semula. Umatlah yang harus bernyanyi. Oleh sebab itu mulai digubah nyanyian-nyanyian jemaat yang mudah dinyanyikan. Lalu bagaimana dengan peran paduan suara? Luther menggunakan paduan suara (khususnya paduan suara anak!) untuk mengajarkan lagu baru kepada umat. Ia juga menggunakan Paduan Suara untuk mendukung nyanyian jemaat dalam ibadah. Hal serupa diterapkan dalam ibadah di era Calvin di Jenewa. Calvin tidak memperbolehkan alat musik dipakai untuk mengiringi nyanyian jemaat. Sebagai gantinya, ia menggunakan paduan suara sebagai pengiring nyanyian jemaat. Jadi, baik Luther maupun Calvin memandang penting peran paduan suara, tetapi tidak lagi sebagai kelompok eksklusif yang menyanyi untuk umat, melainkan kelompok yang menyanyi bersama-sama dengan umat. Paduan suara bukan sekedar bernyanyi untuk ‘mengisi’ ibadah seperti yang sering terjadi saat ini. Fungsi paduan suara sebagai pengiring nyanyian jemaat (kantoria) perlu kembali kita hidupkan.[1]

Sydnor dalam bukunya Hymns and their uses, berpendapat bahwa fungsi utama dari paduan suara adalah bersama-sama dengan anggota jemaat lainnya menyampaikan penyembahan pujian kepada Tuhan dan untuk mengarahkan jemaat memuji Tuhan melalui lagu puji-pujian, koor dan bagian liturgi lainnya yang perlu dinyanyikan.[2]

Bagaimana paduan suara membantu jemaat dalam menyanyikan puji-pujian? Oleh karena paduan suara terbentuk dari orang-orang yang terlatih dan yang mempunyai ketrampilan musik yang lebih baik dari jemaatnya, maka paduan suara diharapkan dapat membantu mereka dengan cara berikut ini:
Pertama      :  Melalui suara dan ekspresi muka yang dapat mendorong jemaat untuk mengikut mereka.
Kedua         : Mereka dapat mendorong jemaat untuk bernyanyi dengan menyatakan perhatian dan                               penghargaannya pada saat mereka bersama jemaat dalam kehidupan sehari hari.
Ketiga         : Paduan suara dapat membantu mengajarkan lagu-lagu yang belum dipahami.
Keempat     : Paduan suara dapat membantu mengajarkan sebuah lagu dengan terlebih dahulu                                         menyanyikan sebagai lagu koor[3].

Dengan gambaran di atas, kita melihat paduan suara memiliki tugas untuk bisa membantu jemaat agar bisa bernyanyi dengan baik di dalam peribadatan. Namun dalam kenyataannya masih banyak ditemukan hal yang tidak selayaknya demikian. Bahkan ada gereja-gereja yang memiliki paduan suara yang baik, namun nyanyian jemaatnya begitu kacau. Pertanyaannya apakah gereja sudah melakukan fungsi hakikatnya, yakni membantu umat bernyanyi, atau masih menganggap diri sebagai kelompok eksklusif yang hanya ingin ‘tampil’ sesuka hati.

Sungguh ironis, banyak paduan suara yang mengklaim melayani Tuhan namun masih saja egois di dalam eksistensinya. Jika kita mau jujur, adakah paduan suara yang melakukan tugas demikian di dalam Jemaat? Paling-paling itu dilakukan dua kali dalam setahun, yakni waktu Natal dan Paskah. Paduan suara menjadi kelompok yang berNAPAS (Natal-Paskah) dalam gereja, yaitu  hanya melakukan tugasnya di waktu Natal dan Paskah. Syukur-syukur masih bernapas, lebih gawat lagi kalau paduan suara menjadi mati suri, yakni tidak pernah melakukan pelayanannya dalam gerejanya sendiri.

Jika ada jadwal menyanyi (biasa disebut pelayanan), paduan suara menyanyikan lagu yang juga terkadang tidak mengena dengan isi khotbah atau tema ibadah. Misalnya khotbah berisi tentang pertobatan, paduan suara menyanyikan lagu “Persaudaraan yang rukun”, atau lainnya. Banyak juga fenomena sekarang, paduan suara menyanyikan lagu yang maknanya dimengerti oleh kelompoknya sendiri. Banyak lagu yang dibawakan oleh paduan suara dengan menggunakan bahasa asing (bahasa daerah, bahasa Latin, terutama bahasa Inggris). Sebenarnya hal ini bukan sesuatu yang buruk jika dibuat lirik asli dan terjemahannya lalu ditampilkan di LCD (jika gereja menggunakannya). Jika tidak, lagu tersebut disampaikan deskripsinya secara garis besar, dan juga inti pesannya kepada jemaat secara lisan. Sayangnya hal tersebut sering diabaikan. Syukur-syukur kalau anggota paduan suara juga tahu makna lagu tersebut, namun jika tidak maka paduan suara hanya melagukan sebuah melodi kepada jemaat. Hal tersebut tidak lebih dari pemanasan yang sering dilakukan oleh paduan suara (da me ni mo tu la be, nanana, hihihi, hahaha, dsbnya). 

Bernyanyi dalam paduan suara itu adalah sesuatu yang menyenangkan, karena memadukan berbagai suara sehingga membentuk harmoni yang indah. Namun, perlu diingat bahwa sebuah nyanyian bukan hanya terdiri dari melodi dan ketukan (beat) saja, tapi juga terdapat lirik/syair. Inilah hal penting di dalam unsur nyanyian gerejawi, yakni lirik/syair lagu. Lirik/syair lagu itu menguatkan jemaat di dalam setiap proses kehidupannya mengiring Tuhan.

Sebagai seorang yang menaruh minat terhadap musik gerejawi, saya memberikan apresiasi yang besar kepada kelompok-kelompok paduan suara yang masih eksis. Namun lebih daripada itu, saya mengharapkan agar paduan suara dapat menjadi berkat bagi jemaatnya masing-masing dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi utama paduan suara adalah memimpin jemaat dan bernyanyi bersama jemaat (Albinus Netti).[4]


“Gereja yang tidak menyanyi bukanlah Gereja” (Karl Barth). Pernyataan ini merupakan warning bagi setiap pelayan Tuhan yang terlibat di dalam pelayanan musik gerejawi (terkhususnya paduan suara) agar semakin menaruh perhatian dalam bidang tersebut. Kelompok paduan suara semestinya membantu jemaat agar melagukan nyanyian milik mereka sendiri (nyanyian jemaat) dengan baik sebagai ekspresi ungkapan iman kepada Allah yang disembah dan dipuji lewat nyanyian. 
Dengan artikel singkat ini, secara khusus saya berharap kepada rekan-rekan paduan suara di kota Kupang yang dalam satu dekade terakhir ini semakin berminat dengan paduan suara, agar juga terlibat aktif di gereja masing-masing dalam pelayanan musik gerejawi, baik sebagai pemusik atau pun sebagai penyanyi (prokantor/cantoria). Regenerasi perlu diperhatikan, dan itu membutuhkan  yang berkompeten di bidangnya, terkhususnya orang-orang mudaApakah paduan suara sudah melayani? Pertanyaan ini tentunya dijawab oleh kita masing-masing. Selamat bernyanyi bersama Jemaat untuk kemuliaan bagi Tuhan. Tuhan Yesus memberkati.






[4] Albinus Netti, Ibadah dan Tata Ibadah Dalam Permenungan, hlm 71, Satya Wacana University Press, 2014


[3] Ibid, hl 107, 108


[2] Sydnor JR, Hymns and their uses, hlm 107.


[1] Komisi Liturgi dan Musik Sinode GKI, Musik Dalam Ibadah, hlm 86; Jakarta: Grafika KreasIndo

Komentar

  1. Kereeenn teman.. Tulisannya sangat bagus.. 👍👍👍👍👍 msh banyak orang yg Blm tau tugas paduan suara.. Bahkan mungkin oleh anggota paduan suara sendiri ju Blm tau.. Tulisannya memberi pencerahan 😃😃

    BalasHapus
  2. Dalam gereja kami, kami menggalakkan padun suara di sektor masing-masing, karena kondisi kami yang berjauhan satu dengan yang lain, terutama kalau mau membentuk paduan suara jemaat. Terbukti bahwa paduan suara sektor lebih hidup. Trims atas pencerahan dalam tulisan yang disajikan dan menjaikan sebagai inspirasi bagi pemimpin paduan suara di jemaat masing-masing.

    BalasHapus
  3. Terima kasih untuk pencerahannya... saya izin share utk bagikan dengan teman2 Paduan Suara di gereja...terima kasih, Tuhan memberkati.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer