H.A Pandopo Sahabat Beda Generasi

Sejak bergabung dalam bidang pelayanan musik gerejawi, saya sering membaca sebuah nama yang cukup populer di hymnal (buku nyanyian ) yang dipakai di gereja. Buku-buku nyanyian itu antara lain Kidung Jemaat, (KJ) Pelengkap Kidung Jemaat (PKJ), Nyanyikanlah Kidung Baru (NKB). Di situ saya membaca sebuah nama yang bisa ditebak asalnya. Namanya ialah H.A Pandopo. Bayangan saya, beliau adalah seorang dari suku Jawa, namun beberapa waktu kemudian, saya membaca sebuah majalah rohani dan memuat tentang profil beliau yang ternyata seorang Belanda. Nama asli beliau adalah Hermanus Arie Van Dopp, atau biasa disapa pak Van Dopp. Nama H.A Pandopo adalah sebuah nama pena yang dipakai sehingga memberikaan kesan ke-Indonesiaan. Informasi dari majalah yang saya baca memberikan julukan kepada beliau sebagai Bapak Mazmur Indonesia. Hal ini karena sepak terjang beliau di dalam mengarang dan menggubah berbagai Nyanyian Mazmur. Demikianlah sepenggal kisah dimana saya mengetahui beliau dari berbagai sumber tanpa bertatap muka.

Pertemuan di Konser

        Di tahun 2014, saya melanjutkan studi di Jakarta dan di tahun yang sama teman-teman Paduan Suara Angelorum dari Kupang  berencana melakukan konser di Gedung GPIB Imanuel Jakarta. Saya diajak terlibat dalam konser tersebut. Berjalannya acara konser, saya melihat seorang yang berperawakan besar, dan berwajah orang Eropa. Saya membatin dengan bertanya: “apakah ini pak Van Dopp?”. Sehabis konser saya pun langsung mencari informasi tentang orang tersebut. Ternyata benar, beliau adalah Van Dopp yang saya baca di majalah dan berbagai hymnal itu. Saya pun tak segan untuk pergi menyapa dan bercerita dengan beliau.

Bertukar Nomor Handphone

Saya sebenarnya agak sedikit canggung karena baru melihat secara langsung di tempat konser berlangsung. Namun setelah melihat keramah-tamahan beliau, saya akhirnya memberanikan diri meneruskan percakapan dengannya. Tentunya saya mengungkapkan kekaguman saya terhadap beliau, dan mencari tahu tentang beliau. Tak disangka beliau meminta nomor handphone saya. Kami pun saling bertukar nomor.

Mengundang ke Yamuger

Selepas konser, saya dan teman-teman Paduan Suara Angelorum pergi bertamasya di Waterboom Jakarta. Di tengah menikmati kebersamaan itu, saya ditelpon oleh beliau dan mengundang saya untuk berkunjung ke Yayasan Musik Gerejawi (Yamuger). Saya pun merespon dengan senang hati dan akan berkunjung ke Yamuger, yang merupakan tempat tinggal beliau juga ketika di Jakarta.     

Memberikan Teks Lagu Mentah

Singkat cerita saya pergi mengunjungi beliau di Yamuger yang bertempat di Rawamangun, Jakarta Timur. Sesampainya di sana saya dijamu makan oleh beliau. Setelah makan, saya ditunjukan beberapa karya yang diciptakan oleh beliau. Mulai dari organ virtual yang ditempatkan di Yamuger sampai nyanyian-nyanyian Mazmur yang ditulis atau diterjemahkan oleh beliau. Karya-karya itu tampak sangat orisinal dengan tulisan tangan yang rapi menorehkan huruf sebagai syair lagu dan angka sebagai notasi . Beliau sempat memberikan beberapa nyanyian Mazmur yang ditulisnya kepada saya. Saya pun tertarik untuk mempelajari Mazmur yang dikarang beliau. Setelah pertemuan pertama di Yamuger, kami masih saling menelpon dan berkirim pesan lewat email. 

Menotasikan Mazmur

Pada suatu kesempatan, beliau memberikan tantangan kepada saya untuk menciptakan sebuah nyanyian Mazmur. Saya pun menjawab tantangan tersebut dengan membuat nyanyian dari Mazmur 150. Dari proyek ini, sebenarnya ada banyak masukan dari beliau secara syair dan juga notasi musiknya. Hanya saja, beliau mengakui bahwa agak kesulitan di dalam mengoperasikan teknologi dengan baik. Namun dalam proses tersebut saya mendapat banyak pelajaran, terutama penggunaan penggalan-penggalan kata sehingga kedengarannya baik. Beliau juga menjelaskan tentang makna suatu kata dari  berbagai bahasa, antara lain: bahasa Ibrani, Latin, Inggris dan Indonesia. Singkatnya, beliau sangat hati-hati dalam penggunaan diksi bahasa Indonseia. Dari situ saya merasa beliau lebih Indonesialis dari orang Indonesia dari segi bahasa.

Mazmur 23 (Lagu Sabu)

Pada suatu waktu, beliau menelpon saya dan berencana untuk pergi melakukan penelitian nyanyian Mazmur di NTT, khusunya di daerah Sabu. Saya akhirnya merekomendasikan beberapa orang dan juga buku sebagai tambahan informasi penelitian di Sabu. Setelah Kembali dari Sabu, beliau mampir ke Kupang untuk beberapa waktu. Di Kupang beliau mengujungi teman-teman Paduan Suara Angelorum dan melakukan beberapa pelatihan tentang musik gereja. Entah mengapa beliau berpikir untuk melakukan penelitian selanjutnya di Rote. Beliau menelpon saya untuk merekomendasikan budayawan yang sekiranya dapat memberikan informasi mengenai Sabu. Saya lalu merekomendasikan Opa Paulus Haning (sekarang almarhum) karena beliau adalah budayawan dan juga penulis buku tentang Masyarakat Rote dengan berbagai judul. Mereka pun bertemu dan berdiskusi banyak hal tentang Rote. Hasil penelitian dari Sabu itu dibawa ke STT Jakarta (sekarang STFT Jakarta) untuk dipresentasikan. Mazmur itu dinyanyikan secara responsoris dan dengan gaya pendarasan. Kami yang hadir berperan sebagai jemaat dengan menyanyikan bagian refreinnya: “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku” . Beliau lalu menyanyikan bagian bait-baitnya dengan cara mendaraskan. Kami sangat senang, karena dapat bernyanyi, tapi lebih dari itu, saya juga senang karena lagu dari daerah saya dapat dinyanyikan dengan indah.

Beberapa waktu kemudian saya mengajar matakuliah musik gereja di kelas. Saya lalu teringat lagi akan refrain lagu yang kami nyanyikan di aula STFT Jakarta waktu itu. Sepenggal kalimat Mazmur “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku”. Para mahasiswa dapat menyanyikan dengan baik. Namun kemudian saya teringat kalau ada mahasiswa yang berasal dari Sabu, dimana nyanyian ini dicipta. Saya meminta mahasiswa asal Sabu untuk menerjemahkan kalimat refrain Mazmur 23 dalam bahasa Sabu. Setelah diterjemahkan, saya meminta untuk menyanyikannya. Mereka yang dari Sabu beranggapan kalimat terjemahan itu sulit untuk dilafalkan apalagi dinyanyikan. Namun saya yakin kalau mereka dapat menyanyikannya. Dengan sedikit mencoba, lagu tersebut dapat dinyanyikan dengan bahasa Sabu dan dengan notasi yang pak Van Dopp ciptakan.

 (Kegiatan di STFT Jakarta)



 Ajakan Penelelitian

Setelah presentasi itu, saya dan beliau serta seorang gitaris yang mengiringi beliau mendaraskan Mazmur berfoto. Beliau mengatakan kepada saya untuk berencana melakukan penelitian di Rote, tempat asal saya. Namun beberapa waktu kemudian beliau harus kembali ke Belanda. Saya berpikir bahwa pertemuan di STFT Jakarta merupakan perpisahan namun ternyata tidak demikian.

Cium Sabu

Sebelum kembali ke Belanda, beliau menepon saya untuk minta bertemu terakhir kali di Yamuger. Saya pun menyanggupinya. Setiba di Yamuger, nampaknya beliau sedang berkemas menyiapkan segala kebutuhan keberangkatan. Seperti biasa, beliau mengajak makan bersama. Waktu semakin larut. Saya ingin berpamitan agar beliau bisa beristirahat. Sebelum pulang, beliau menanyakan kepada saya: “Rudi kamu ada ongkos pulang?” saya menjawab: “ia, ada pak”, namun beliau tetap menyodorkan beberapa nominal uang kepada saya. Saya pikir setelah itu saya bisa langsung pulang, namun di luar dugaan beliau memanggil saya: “Rudi, kamu kan dari NTT, jadi sebelum pulang, ayo cium Sabu dalu”. Bagi kami orang NTT, itu bukan suatu hal yang asing, malahan itu sebagai bentuk penghargaan dan juga bentuk kasih sayang persaudaraan. Saya akhirnya menghampiri beliau dan melakukan cium Sabu. Saya berpikir, setelah cium Sabu bisa langsung pulang. Ternyata pertanyaan terakhir beliau bikin saya sedikit berpikir. Beliau bertanya: “Rudi kenapa tadi cium Sabu kamu menutup bibir kamu?”. Oh, astaga, apa yang harus saya jawab. Gestur seperti itu sudah secara otomatis dilakukan oleh kebanyakan orang. Namun akhirnya saya menjawab, walaupun agak sedikit lucu. Saya menjawab beliau: “saya menutup mulut agar bibir dan bibir tidak saling ketemu”. Hehehe, entahlah, jawaban ini bisa diterima atau tidak, dikarenakan saya ditanyai secara spontanitas.


Pelajaran Dari Van Dopp

Kebanyakan kita berteman dengan orang yang memiliki minat, hobi dan bahkan usia yang sama. Saya berteman dengan beliau memang karena minat dan hobi yang sama di bidang musik gerejawi, namun perbedaan usia kami sangat jauh. Usia saya waktu itu sekitar 26 tahun dan beliau sekitar 86. Kami berteman beda tiga generasi dan beda negara, bahkan benua. Hal-hal yang menarik dan bisa dipelajari dari pak Van Dopp adalah hospitalitinya. Beliau memiliki keramtamahan yang luar biasa. Ketelitian di dalam bidang musik juga luar biasa. hal dibuktikan beliau dengan berkarya sabagai pencipta bahkan penerjemah karya-karya dalam hymnal (KJ, PKJ dan NKB). Hal yang terakhir yang bisa dipelajari dari beliau tentunya kecintaan beliau terhadap musik gereja di Indonesia. Di usia yang tidak muda lagi beliau masih semangat mengunjungi beberapa tempat di pelosok nusantara untuk meneliti bahkan mengajarkan keilmuannya.

Saya melihat beliau terakhir di postingan facebook-nya ibu Ester Pudjo. Beliau nampak sudah terbatas secara fisik, namun saya yakin beliau terus memiliki semangat di dalam menghidupi setiap nyanyiannya. Teruslah bernyanyi teman hingga kelak kau bertemu Sang Khalikmu itu.

 

Komentar

Postingan Populer